Ramalan Kopi
Oleh : Maria LW
Oleh : Maria LW
Aku menghirup habis kopiku, kelat tanpa gula. Aku tak memerlukan rasa manis itu. Aku meminumnya perlahan, menikmati rasa getirnya di lidah. Biarkanlah aku menikmati segala rasa pahitnya, meneguknya hingga menyisakan ampas kental di dasar cangkir.
Ketika tegukan terakhir hilang di ujung tenggorokanku, kuteliti ampas sisanya. Kususuri segala bentuknya, membaca apa yang tersirat di dalam polanya. Pola bunga dengan empat kelopak. Tanda keberuntungan. Sebuah senyuman terbentuk di bibirku.
Senyum yang sama yang selalu tercetak di wajah Ibuku setiap menghabiskan kopi kesukaannya.
Sejak aku kecil, Ibu selalu duduk di beranda rumah setiap sore, ditemani dengan secangkir kopi panas. Kulihat wajah puas Ibu ketika menyeruput kopinya, terbingkai uap panas dari cangkir kopi. Dalam tegukan terakhir, Ibu memandangi cangkirnya beberapa saat. Wajahnya puasnya makin kelihatan berseri. Aku selalu berpikir itu memang kebiasaanya setiap menghabiskan kopi.
Hingga hari itu, Ibu memberitahukan kepadaku alasannya.
“Kenapa Ibu tidak pernah minum kopi dengan gula atau susu?” ujarku di suatu sore yang kelabu, ketika hanya kami berdua di rumah, menunggu kepulangan Ayah yang terlambat. Hari itu ulang tahunku yang ke lima belas dan Ayah telah berjanji akan mengajak kami makan bersama di luar.
Ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku, membuat pertanyaanku tergantung di udara, dimainkan angin sepoi. Diacuhkannya aku sesaat. Setelah meletakkan cangkirnya di meja, barulah dia memandangku. “Karena Ibu meramal dengan kopi ini, Dinda. Kopi pahit, tanpa gula atau krim maupun susu. Itu hanya akan mengurangi keampuhannya.”
“Meramal, Bu?”
“Kau bisa meramal apa yang akan terjadi padamu di esok hari. Kau juga bisa membaca apa yang orang kau kasihi sedang lakukan. Apakah mereka baik-baik saja atau sedang dalam mara bahaya.”
“Berarti Ibu sering melihat aku dan Ayah melalui ini?” Kuacak ampas kopi itu dengan jari, melukis di sana, meninggalkan garis-garis tak beraturan.
“Yah. Ibu egois. Ibu selalu ingin tahu kondisi kamu dan Ayah.” Ibu tersenyum, menjentik ujung hidungku dengan jarinya.
“Sekarang Ayah sedang apa, Bu?”
“Ayah baik-baik saja, hanya terlihat sibuk.”
Aku memandang ke luar. Hujan mulai turun perlahan, membingkai jendela dengan titik-titik kecil air.
“Ajari aku, Ibu.”
Saat itu, Ibu hanya menggeleng. “Belum sekarang, Dinda. Kau masih butuh waktu untuk belajar ini.”
Aku hanya cemberut, merasa Ibu tidak adil. Bagaimana mungkin Ibu menunjukkanku ramalannya, namun tidak mau mengajarkanku caranya?
“Kalau begitu, kapan Ibu mengajarkanku? Tahun depan?”
Ibu tertawa. “Baiklah. Tahun depan.”
Ibu tak pernah mengajarkanku. Dia meninggal sebelum ulang tahunku yang ke enam belas.
****
Umurku sekarang 30 tahun. Sudah menikah namun belum mempunyai anak. Aku seperti Ibuku, menghabiskan waktu soreku dengan secangkir kopi panas, sambil menunggu suamiku pulang.
Walau Ibu meninggal tanpa sempat mengajarkanku, aku menemukan sebuah catatan tua di antara benda-benda peninggalan Ibu. Ternyata Ibu sendiri belajar tentang meramal melalu kopi dari Nenek. Nenek menuliskan semua pengetahuan tentang hal itu di sebuah catatan tua. Dan aku belajar meramal melalui catatan itu.
Sore ini, aku menikmati kopiku di antara rinai. Kopiku sudah habis dan mahgrib sudah hampir menjelang namun suamiku belum juga pulang. Beberapa hari ini, dia sering pulang terlambat. Suamiku seseorang yang cuek. Dia sering lupa untuk mengabariku jika dia pulang terlambat ataupun lembur. Kadang kala, jika hari sudah larut dan aku menelponnya, barulah dia ingat untuk mengatakannya.
Akhirnya, dari kejauhan, aku melihat motor suamiku memasuki halaman. Bajunya setengah basah oleh tetesan hujan.
“Kenapa Mas tidak memakai mantel?” Kusambut dia dengan handuk di tangan.
“Tanggung, Dek. Sudah separuh jalan.Tolong buatkan kopi panas untukku.”
“Buka dulu bajunya, Mas.”
Sekilas, aku mencium bau parfum saat suamiku melepaskan bajunya. Tercium semilir bau manis. Namun terasa pahit di tenggorokanku.
Aku dan suamiku tidak pernah memakai parfum.
****
Besoknya, aku melakukan ritual minum kopi sejam lebih awal dari biasanya. Aku ingin mengintai apa yang sedang dilakukan suamiku sekarang. Kuputar gagang cangkir, ke kanan dua kali, ke kiri dua kali, sambil membisikkan nama suamiku.
Pola ampas kopi menunjukkan pola yang sama, bulat dengan lengkungan yang rapi di sekitar sisinya.
Tanda dia mengerjakan tugasnya sehari-hari di kantor. Tidak ada yang mencurigakan.
Kutelpon dia.
“Halo. Ada apa, Dek?” jawab suamiku pada deringan yang ke tiga.
“Mas hari ini pulang cepat?”
“Hari ini kemungkinan mas pulang terlambat lagi. Ada acara sebentar.”
“Dengan siapa, Mas?”
“Kawan dari bagian pemasaran, Dek. Sudah dulu ya, Dek.”
“Baik, Mas.” Tut... Tut... Tut....
Tenanglah, ujarku dalam hati. Mungkin saja dia naik lift dengan seorang wanita dengan parfum yang mendominasi ruangan. Sehingga bau parfum itu mengendam di bajunya.
Atau bisa jadi bukan. Bisa jadi ramalanku kali ini salah.
Ah, persetan dengan segala ramalan. Lebih baik kulihat sendiri, apakah benar suamiku bekerja seperti biasa atau tidak.
Sesampainya aku di kantor suamiku,masih kulihat motornya terletak di ujung parkiran. Motorku sendiri kuparkirkan agak jauh dari situ. Aku sendiri menunggu di kantin yang menghadap ke pintu masuk kantor.
Aku menunggu suamiku yang tak kunjung keluar walau sudah jamnya pulang. 30 menit sudah terlewati. Mungkin benar, khayalanku saja yang kemana-mana.
“Ini Mbak Dinda, kan?”
Aku terkejut, tak berharap disapa pada saat aku tak ingin bertemu dengan rekan sekantor suamiku. Kutatap rekan sekantor suamiku itu. Aku kenal dia. Bawahan suamiku. Aku ingat suamiku beberapa kali curhat padaku tentang bawahannya yang satu ini, karena terlalu sering bergosip ketika berkerja.
“Iya, lama tidak bertemu ya, Mbak,” ujarku basa-basi, berharap si pengganggu cepat berlalu.
“Iya. Boleh duduk di samping Mbak kalau begitu?” sahutnya sambil meletakkan tasnya di sampingku.
Ah sudahlah. Siapa tahu aku bisa mendengar berita darinya. “Bagaimana kantor, Mbak? Sibuk?”
“Begitulah, Mbak. Kerjaan akhir bulan banyak.”
“Oh...” Aku terdiam, kikuk.
“Mbak cuma pesan minum?” sahutnya sambil memesan makanan ke pelayan.
“Iya, sudah makan dari rumah.”
“Kok bisa di sini, Mbak. Nunggu Pak Pram pulang?”
“Iya, Mbak.” Yah, bisa dibilang begitu kan?
Dia terdiam sejenak, “Maaf sebelumnya ya, Mbak. Saya lihat beberapa hari ini Ibu Lis dari divisi keuangan sering terlihat dengan bersama dengan Pak Pram.”
Darahku seperti tersedot. Bagian pemasaran? Hatiku berdesir, “Benar, Mbak?”
“Iya. Beberapa hari ini saya sering melihat mereka berdua loh, Mbak.” Pelayan datang, membawakan pesanan, “Saya makan ya, Mbak.”
Kepalaku pening. Aku tidak peduli suamiku cuek, jarang memberi kabar jika lembur, atau terlalu fokus terhadap pekerjaannya. Tapi aku benci perselingkuhan.
Akan kubalas kalau suamiku benar-benar berselingkuh.
“Mbak, saya duluan ya. Terima kasih infonya,” ujarku, tidak menunggu jawaban. Tergopoh-gopoh, aku menuju ke parkiran motor. Kulihat motor suamiku masih di sana. Tenanglah, bujukku ke pada diriku sendiri. Aku masih bisa membicarakannya ke suamiku nanti. Biarlah kususun dulu kata-kata untuk berdebat.
Sesampai di rumah, kuracik secangkir kopi panas. Baru kali ini aku meminum kopi tanpa ada kepuasan tercetak di bibirku. Aku tak peduli. Kuhabiskan kopiku tanpa kenikmatan. Kuputar-putarkan lagi gagang cangkirnya, ke kanan dua kali, ke kiri dua kali, membisikkan nama suamiku. Kali ini dengan tergesa-gesa.
Tak ada yang berubah, polanya tetaplah lingkaran bulat sempurna. Kuhentakkan cangkir kuat-kuat di bak cucian.
Akhirnya, kutunggu suamiku di depan meja makan. 15 menit. 30 menit terlewati. Azan mahgrib terlewati.
Entah sudah beberapa lama berselang hingga cahaya motor suamiku menyinari perkarangan.
Aku tetap diam, bergeming pura-pura tak tahu.
Suara langkah kakinya bergema mendahului seruan kagetnya, “Loh, Dek. Kok belum dandan?” Suamiku tercenung menatapku, di tangannya ada kantong plastik besar.
Giliran aku yang kaget, “Dandan apanya, Mas?”
“Nggak baca SMS mas, Dek?”
Aku menggeleng.
“Kita kan akan makan di luar,” ujar suamiku sambil mengangkat penutup makanan, “Panaskan saja untuk makan besok pagi, Dek.”
Tak akan kubiarkan kebingungan ini membuyarkan tuntutanku akan penjelasan cerita tadi sore. “Mas dari mana?”
Mas membuka kantong plastiknya, mengeluarkan sederet peralatan masak. Panci, wajan, teflon.
“Loh, apa ini, Mas?”
“Ini loh. Dari kemarin ada orang pemasaran nawarkan barang-barang peralatan rumah tangga, kayak MLM begitu. Jadi hari ini kan ulang tahun pernikahan kita, yah mas beli saja buat hadiah Adek. Ada hadiah parfumnya lagi. Kemarin disemprot-semprot sama ibu itu buat coba parfum, jadi mas bisa milih mana yang enak buat adek.”
Aku terbengong, lalu tertawa bodoh sendiri. Suamiku hanyalah orang sederhana yang cuek. Terlalu cinta dengan pekerjaannya.
Suamiku tak akan cocok dengan perselingkuhan.
“Kita ngopi dulu sebelum pergi ya, Mas.”
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Comments
Post a Comment